Undang Undang Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2014
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009
TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara bertanggung jawab untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia melalui penyelenggaraan peternakan dan
kesehatan hewan dengan mengamankan dan
menjamin pemanfaatan dan pelestarian hewan untuk
mewujudkan kedaulatan, kemandirian, serta
ketahanan pangan dalam rangka menciptakan
kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat
Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam penyelenggaraan peternakan dan
kesehatan hewan, upaya pengamanan maksimal
terhadap pemasukan dan pengeluaran ternak, hewan,
dan produk hewan, pencegahan penyakit hewan dan
zoonosis, penguatan otoritas veteriner, persyaratan
halal bagi produk hewan yang dipersyaratkan, serta
penegakan hukum terhadap pelanggaran
kesejahteraan hewan, perlu disesuaikan dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dipandang
tidak sesuai lagi dan perlu disempurnakan untuk
dijadikan landasan hukum bagi penyelenggaraan
peternakan dan kesehatan hewan;
d. bahwa…
118
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
d. bahwa
berdasarkan
pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan;
Mengingat: Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG
PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5015), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2, angka 12, angka 14, angka 15,
angka 19, angka 21, angka 23, angka 24, angka 25, angka 26,
angka 28, angka 29, angka 30, angka 34, angka 35, angka 36,
angka 39, angka 40, angka 41, angka 46, dan angka 49 diubah, di
antara angka 5 dan angka 6 disisipkan 2 (dua) angka yakni angka
5a dan 5b, di antara angka 37 dan angka 38 disisipkan 1 (satu)
angka yakni angka 37a, dan angka 9, angka 17, angka 20, angka
33, serta angka 44 dihapus, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1…
119
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 1
Dalam Undang–Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan
sumber daya fisik, Benih, Bibit, Bakalan, Ternak Ruminansia
Indukan, Pakan, Alat Dan Mesin Peternakan, budi daya
Ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran,
pengusahaan, pembiayaan, serta sarana dan prasarana.
2. Kesehatan Hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan
pelindungan sumber daya Hewan, kesehatan masyarakat, dan
lingkungan serta penjaminan keamanan Produk Hewan,
Kesejahteraan Hewan, dan peningkatan akses pasar untuk
mendukung kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan
asal Hewan.
3. Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau
sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau
udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya.
4. Hewan Peliharaan adalah Hewan yang kehidupannya untuk
sebagian atau seluruhnya bergantung pada manusia untuk
maksud tertentu.
5. Ternak adalah Hewan peliharaan yang produknya
diperuntukan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri,
jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian.
5a. Ternak Ruminansia Betina Produktif adalah Ternak
ruminansia betina yang organ reproduksinya masih berfungsi
secara normal dan dapat beranak.
5b. Ternak Ruminansia Indukan adalah Ternak betina bukan bibit
yang memiliki organ reproduksi normal dan sehat digunakan
untuk pengembangbiakan.
6. Satwa Liar adalah semua binatang yang hidup di darat, air,
dan/atau udara yang masih mempunyai sifat liar, baik yang
hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
7. Sumber Daya Genetik adalah material tumbuhan, binatang,
atau jasad renik yang mengandung unit-unit yang berfungsi
sebagai pembawa sifat keturunan, baik yang bernilai aktual
maupun potensial untuk menciptakan galur, rumpun, atau
spesies baru.
8. Benih…
120
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
8. Benih Hewan yang selanjutnya disebut Benih adalah bahan
reproduksi Hewan yang dapat berupa semen, sperma, ova,
telur tertunas, dan embrio.
9. Dihapus
10. Bibit Hewan yang selanjutnya disebut Bibit adalah Hewan yang
mempunyai sifat unggul dan mewariskan serta memenuhi
persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan.
11. Rumpun Hewan yang selanjutnya disebut Rumpun adalah
segolongan hewan dari suatu spesies yang mempunyai ciri-ciri
fenotipe yang khas dan dapat diwariskan pada keturunannya.
12. Bakalan Ternak Ruminansia Pedaging yang selanjutnya disebut
Bakalan adalah ternak ruminansia pedaging dewasa yang
dipelihara selama kurun waktu tertentu hanya untuk
digemukkan sampai mencapai bobot badan maksimal pada
umur optimal untuk dipotong.
13. Produk Hewan adalah semua bahan yang berasal dari Hewan
yang masih segar dan/atau telah diolah atau diproses untuk
keperluan konsumsi, farmakoseutika, pertanian, dan/atau
kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan
manusia.
14. Peternak adalah orang perseorangan warga negara Indonesia
atau korporasi yang melakukan usaha Peternakan.
15. Perusahaan Peternakan adalah orang perseorangan atau
korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang
bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengelola
usaha Peternakan dengan kriteria dan skala tertentu.
16. Usaha di bidang Peternakan adalah kegiatan yang
menghasilkan produk dan jasa yang menunjang usaha budi
daya Ternak.
17. Dihapus.
18. Inseminasi Buatan adalah teknik memasukkan mani atau
semen ke dalam alat reproduksi Ternak betina sehat untuk
dapat membuahi sel telur dengan menggunakan alat
inseminasi dengan tujuan agar Ternak bunting.
19.Pemuliaan. . .
121
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
19. Pemuliaan Ternak yang selanjutnya disebut Pemuliaan adalah
rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada
sekelompok Ternak dari suatu rumpun atau galur guna
mencapai tujuan tertentu.
20. Dihapus
21. Usaha di bidang Kesehatan Hewan adalah kegiatan yang
menghasilkan produk dan/atau jasa yang menunjang upaya
dalam mewujudkan Kesehatan Hewan.
22. Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik
yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada
hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan
berkembang biak.
23. Bahan Pakan adalah bahan hasil pertanian, perikanan,
Peternakan, atau bahan lain serta yang layak dipergunakan
sebagai Pakan, baik yang telah diolah maupun yang belum
diolah.
24. Kawasan Penggembalaan Umum adalah lahan negara atau
yang disediakan Pemerintah atau yang dihibahkan oleh
perseorangan atau perusahaan yang diperuntukkan
penggembalaan Ternak masyarakat skala kecil sehingga Ternak
dapat leluasa berkembang biak.
25. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum
serta yang melakukan kegiatan di bidang Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
26. Veteriner adalah segala urusan yang berkaitan dengan Hewan,
Produk Hewan, dan Penyakit Hewan.
27. Medik Veteriner adalah penyelenggaraan kegiatan praktik
kedokteran hewan.
28. Otoritas Veteriner adalah kelembagaan Pemerintah atau
Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dan memiliki
kompetensi dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan.
29. Dokter Hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang
kedokteran hewan dan kewenangan Medik Veteriner dalam
melaksanakan pelayanan Kesehatan Hewan.
30. Dokter…
122
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
30. Dokter Hewan Berwenang adalah Dokter Hewan yang
ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota
sesuai dengan kewenangannya berdasarkan jangkauan tugas
pelayanannya dalam rangka penyelenggaraan Kesehatan
Hewan.
31. Medik Reproduksi adalah penerapan Medik Veteriner dalam
penyelenggaraan Kesehatan Hewan di bidang reproduksi
hewan.
32. Medik Konservasi adalah penerapan Medik Veteriner dalam
penyelenggaraan Kesehatan Hewan di bidang konservasi Satwa
Liar.
33. Dihapus.
34. Penyakit Hewan adalah gangguan kesehatan pada Hewan yang
disebabkan oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan
metabolisme, trauma, keracunan, infestasi parasit, prion, dan
infeksi mikroorganisme patogen.
35. Penyakit Hewan Menular adalah penyakit yang ditularkan
antara Hewan dan Hewan, Hewan dan manusia, serta Hewan
dan media pembawa Penyakit Hewan lain melalui kontak
langsung atau tidak langsung dengan media perantara
mekanis seperti air, udara, tanah, Pakan, peralatan, dan
manusia, atau melalui media perantara biologis seperti virus,
bakteri, amuba, atau jamur.
36. Penyakit Hewan Menular Strategis adalah Penyakit Hewan
yang dapat menimbulkan angka kematian dan/atau angka
kesakitan yang tinggi pada Hewan, dampak kerugian ekonomi,
keresahan masyarakat, dan/atau bersifat zoonotik.
37. Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari Hewan
kepada manusia atau sebaliknya.
37a.Wabah adalah kejadian penyakit luar biasa yang dapat berupa
timbulnya suatu Penyakit Hewan Menular baru di suatu
wilayah atau kenaikan kasus Penyakit Hewan Menular
mendadak yang dikategorikan sebagai bencana nonalam.
38. Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah segala urusan yang
berhubungan dengan Hewan dan Produk Hewan yang secara
langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan
manusia.
39. Obat…
123
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
39. Obat Hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk
mengobati Hewan, membebaskan gejala, atau memodifikasi
proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologik,
farmakoseutika, premiks, dan sediaan Obat Hewan alami.
40. Alat dan Mesin Peternakan adalah semua peralatan yang
digunakan berkaitan dengan kegiatan Peternakan, baik yang
dioperasikan dengan motor penggerak maupun tanpa motor
penggerak.
41. Alat dan Mesin Kesehatan Hewan adalah peralatan kedokteran
Hewan yang disiapkan dan digunakan untuk Hewan sebagai
alat bantu dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan.
42. Kesejahteraan Hewan adalah segala urusan yang berhubungan
dengan keadaan fisik dan mental Hewan menurut ukuran
perilaku alami Hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan
untuk melindungi Hewan dari perlakuan Setiap Orang yang
tidak layak terhadap Hewan yang dimanfaatkan manusia.
43. Tenaga Kesehatan Hewan adalah orang yang menjalankan
aktivitas di bidang Kesehatan Hewan berdasarkan kompetensi
dan kewenangan Medik Veteriner yang hierarkis sesuai dengan
pendidikan formal dan/atau pelatihan Kesehatan Hewan
bersertifikat.
44. Dihapus.
45. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
46. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
47. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/ wali kota, dan
perangkat daerah sebagai unsur Penyelenggara Pemerintahan
Daerah.
48. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan
rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
49. Sistem…
124
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
49. Sistem Kesehatan Hewan Nasional yang selanjutnya disebut
Siskeswanas adalah tatanan Kesehatan Hewan yang ditetapkan
oleh Pemerintah dan diselenggarakan oleh Otoritas Veteriner
dengan melibatkan seluruh penyelenggara Kesehatan Hewan,
pemangku kepentingan, dan masyarakat secara terpadu.
2. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf b, substansi tetap dan
penjelasannya tentang “inseminasi buatan” dihapus sehingga
rumusan penjelasan Pasal 6 adalah sebagaimana tercantum dalam
Penjelasan Pasal demi Pasal Angka 2 Undang-undang ini.
3. Judul Bagian Kesatu pada Bab IV diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Bagian Kesatu
Benih dan Bibit
4. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Penyediaan dan pengembangan Benih dan/atau Bibit dilakukan
dengan mengutamakan produksi dalam negeri.
(2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban untuk melakukan Pemuliaan,
pengembangan usaha pembenihan dan/atau pembibitan dengan
melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin
ketersediaan Benih dan/atau Bibit.
(3) Kewajiban Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya untuk melakukan pengembangan
usaha pembenihan dan/atau pembibitan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mendorong
penerapan teknologi reproduksi.
(4) Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh
masyarakat belum berkembang, Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya membentuk
unit pembenihan dan/atau pembibitan.
(5) Pembentukan unit pembenihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditujukan untuk pemurnian Ternak tertentu atau untuk
produksi.
(6) Setiap…
125
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(6) Setiap Benih atau Bibit yang beredar wajib memiliki sertifikat
Benih atau Bibit yang memuat keterangan mengenai silsilah dan
ciri-ciri keunggulannya.
(7) Sertifikat Benih atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi Benih atau Bibit yang
terakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri.
(8) Setiap Orang dilarang mengedarkan Benih atau Bibit yang tidak
memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
5. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Pemasukan Benih dan/atau Bibit dari luar negeri ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilakukan
untuk:
a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. mengatasi kekurangan Benih dan/atau Bibit di dalam negeri;
dan/atau
d. memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan.
(2) Pemasukan Benih dan/atau Bibit dari luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus:
a. memenuhi persyaratan mutu;
b. memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;
c. bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan oleh
otoritas veteriner;
d. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang karantina Hewan; dan
e. memerhatikan kebijakan pewilayahan sumber Bibit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
(3) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Benih dan/atau Bibit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari
Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan mutu dan
persyaratan teknis Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dan huruf b diatur dengan Peraturan
Menteri.
6. Ketentuan…
126
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
6. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Pengeluaran Benih dan/atau Bibit dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan
apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian
Ternak lokal terjamin.
(2) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
dilakukan terhadap Benih dan/atau Bibit yang terbaik di dalam
negeri.
(3) Setiap Orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Menteri.
7. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit, Ternak
Ruminansia Betina Produktif diseleksi untuk Pemuliaan,
sedangkan Ternak ruminansia betina yang tidak produktif
disingkirkan untuk dijadikan Ternak potong.
(2) Penentuan Ternak ruminansia betina yang tidak produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dokter
Hewan Berwenang
(3) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menyediakan dana untuk menjaring Ternak Ruminansia Betina
Produktif yang dikeluarkan oleh masyarakat dan menampung
Ternak tersebut pada unit pelaksana teknis di daerah untuk
keperluan pengembangbiakan dan penyediaan Bibit Ternak
ruminansia betina di daerah tersebut.
(4) Setiap Orang dilarang menyembelih Ternak ruminansia kecil
betina produktif atau Ternak ruminansia besar betina produktif.
(5) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan
dalam hal:
a. penelitian;
b. Pemuliaan;
c. pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan;
d. ketentuan agama;
e. ketentuan adat istiadat; dan/atau
f. pengakhiran penderitaan Hewan.
(6) Setiap…
127
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(6) Setiap Orang harus menjaga populasi anakan ternak
ruminansia kecil dan anakan ternak ruminansia besar.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyeleksian dan penyingkiran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penjaringan Ternak
Ruminansia Betina Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dan populasi anakan ternak ruminansia kecil dan anakan
ternak ruminansia besar sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
diatur dengan Peraturan Menteri.
8. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31
(1) Peternak dapat melakukan kemitraan usaha di bidang budi
daya Ternak berdasarkan perjanjian yang saling memerlukan,
memperkuat, menguntungkan, menghargai, bertanggung jawab,
ketergantungan, dan berkeadilan.
(2) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan:
a. antar-Peternak;
b. antara Peternak dan Perusahaan Peternakan;
c. antara Peternak dan perusahaan di bidang lain; dan
d. antara Perusahaan Peternakan dan Pemerintah atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(3) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berupa:
a. penyediaan sarana produksi;
b. produksi;
c. pemasaran; dan/atau
d. permodalan atau pembiayaan.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya melakukan pembinaan kemitraan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kemitraan
usaha.
9. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32…
128
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 32
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban mendorong agar sebanyak
mungkin warga masyarakat menyelenggarakan budi daya
Ternak sesuai dengan pedoman budi daya Ternak yang baik.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya memfasilitasi dan membina pengembangan
budi daya yang dilakukan oleh Peternak dan pihak tertentu
yang mempunyai kepentingan khusus.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya membina dan memberikan fasilitas untuk
pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan badan usaha di
bidang Peternakan.
10. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36
(1) Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan dan
memfasilitasi kegiatan pemasaran Hewan atau Ternak dan
Produk Hewan di dalam negeri maupun ke luar negeri.
(2) Pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan
untuk membina peningkatan produksi dan konsumsi protein
hewani dalam mewujudkan ketersediaan pangan bergizi
seimbang bagi masyarakat dengan tetap meningkatkan
kesejahteraan pelaku usaha Peternakan.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban untuk menciptakan iklim usaha
yang sehat bagi pemasaran Hewan atau Ternak dan Produk
Hewan.
11. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni
Pasal 36A, Pasal 36B, Pasal 36C, Pasal 36D, dan Pasal 36E
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
Pengeluaran Hewan atau Ternak dan Produk Hewan dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan
apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi
kebutuhan konsumsi masyarakat.
Pasal 36B…
129
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 36B
(1) Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan apabila
produksi dan pasokan Ternak dan Produk Hewan di dalam
negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.
(2) Pemasukan Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berupa Bakalan.
(3) Pemasukan Ternak ruminansia besar Bakalan tidak boleh
melebihi berat tertentu.
(4) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Bakalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memperoleh izin dari
Menteri.
(5) Setiap Orang yang memasukkan Bakalan dari luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan
penggemukan di dalam negeri untuk memperoleh nilai tambah
dalam jangka waktu paling cepat 4 (empat) bulan sejak
dilakukan tindakan karantina berupa pelepasan.
(6) Pemasukan Ternak dari luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) harus:
a. memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;
b. bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan
oleh Otoritas Veteriner;dan
c. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang karantina Hewan.
(7) Pemasukan Ternak dari luar negeri untuk dikembangbiakan di
Indonesia harus:
a. memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;
b. bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan oleh
Otoritas Veteriner; dan
c. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang karantina Hewan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak, dan
Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta berat
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 36C…
130
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 36C
(1) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu
negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi
persyaratan dan tata cara pemasukannya.
(2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak Ruminansia
Indukan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan analisis risiko di
bidang Kesehatan Hewan oleh Otoritas Veteriner dengan
mengutamakan kepentingan nasional.
(3) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus
terlebih dahulu:
a. dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di negara asal
oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui
oleh Otoritas Veteriner Indonesia;
b. dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di
dalam negeri; dan
c. ditetapkan tempat pemasukan tertentu.
(4) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak Ruminansia
Indukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperoleh izin dari Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak
Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 36D
(1) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36C harus ditempatkan di
pulau karantina sebagai instalasi karantina Hewan pengamanan
maksimal untuk jangka waktu tertentu.
(2) Ketentuan mengenai pulau karantina diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 36E…
131
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 36E
(1) Dalam hal tertentu, dengan tetap memerhatikan kepentingan
nasional, dapat dilakukan pemasukan Ternak dan/atau
Produk Hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu
negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara
pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dalam hal tertentu dan tata
cara pemasukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
12. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 37 disisipkan 1 (satu) ayat
yakni ayat (2a), sehingga Pasal 37 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya
industri pengolahan Produk Hewan dengan mengutamakan
penggunaan bahan baku dari dalam negeri.
(2) Pemerintah membina terselenggaranya kemitraan yang sehat
antara industri pengolahan dan Peternak dan/atau koperasi
yang menghasilkan Produk Hewan yang digunakan sebagai
bahan baku industri.
(2a) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
kerja sama:
a. Permodalan atau pembiayaan;
b. pengolahan;
c. pemasaran;
d. pendistribusian; dan/atau
e. rantai pasok.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan fasilitasi
berkembangnya industri pengolahan Produk Hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang industri,
kecuali untuk hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini.
13. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41 …
132
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 41
Pencegahan Penyakit Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
39 bertujuan untuk:
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
ancaman masuknya Penyakit Hewan dari luar negeri;
b. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
ancaman menyebarnya Penyakit Hewan dari luar negeri, dari
satu pulau ke pulau lain, dan antardaerah dalam satu pulau di
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. melindungi Hewan dari ancaman muncul, berjangkit, dan
menyebarnya Penyakit Hewan; dan
d. mencegah keluarnya Penyakit Hewan dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
14. Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 2 (dua) Pasal, yakni
Pasal 41A dan Pasal 41B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41A
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya bertanggung jawab melakukan pencegahan
Penyakit Hewan.
(2) Dalam melaksanakan tanggung jawab pencegahan Penyakit
Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban melakukan koordinasi lintas sektoral, lintas
wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
(3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, sampai
dengan evaluasi kegiatan pencegahan Penyakit Hewan.
(4) Dalam melaksanakan pencegahan Penyakit Hewan,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya melakukan penyebarluasan informasi dan
peningkatan kesadaran masyarakat.
(5) Dalam pencegahan Penyakit Hewan, masyarakat dapat
berperan aktif bersama dengan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 41B…
133
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 41B
(1) Pencegahan Penyakit Hewan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 meliputi:
a. pencegahan masuknya Penyakit Hewan dari luar negeri ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. pencegahan keluarnya Penyakit Hewan dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. pencegahan menyebarnya Penyakit Hewan dari satu pulau
ke pulau lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d. pencegahan menyebarnya Penyakit Hewan dari satu
wilayah ke wilayah lain dalam satu pulau; dan
e. pencegahan muncul, berjangkit, dan menyebarnya Penyakit
Hewan di dalam suatu wilayah.
(2) Pencegahan masuk, keluar, dan menyebarnya Penyakit Hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menerapkan persyaratan teknis Kesehatan Hewan.
(3) Pencegahan Penyakit Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, huruf b, dan huruf c di tempat-tempat pemasukan
dan pengeluaran dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan di bidang karantina hewan.
(4) Pencegahan Penyakit Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d dilakukan dengan pemeriksaan dokumen dan
Kesehatan Hewan.
(5) Pencegahan muncul, berjangkit, dan menyebarnya Penyakit
Hewan di dalam suatu wilayah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e dilakukan dengan cara tindakan pengebalan,
pengoptimalan kebugaran hewan, dan/atau biosekuriti.
15. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 58
(1) Dalam rangka menjamin Produk Hewan yang aman, sehat,
utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban melaksanakan pengawasan, pemeriksaan,
pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi Produk
Hewan.
(2) Pengawasan…
134
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Pengawasan, pemeriksaan, dan pengujian Produk Hewan
berturut-turut dilakukan di tempat produksi, pada waktu
pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu
dalam keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu
peredaran setelah pengawetan.
(3) Standardisasi, sertifikasi, dan registrasi Produk Hewan
dilakukan terhadap Produk Hewan yang diproduksi di
dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk diedarkan dan/atau dikeluarkan
dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Produk Hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan
wajib disertai:
a. sertifikat veteriner; dan
b. sertifikat halal bagi Produk Hewan yang dipersyaratkan.
(5) Setiap Orang dilarang mengedarkan Produk Hewan yang
diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang tidak disertai dengan
sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan
Produk Hewan dilarang memalsukan Produk Hewan dan/atau
menggunakan bahan tambahan yang dilarang.
(7) Produk Hewan yang dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib disertai sertifikat veteriner dan
sertifikat halal jika dipersyaratkan oleh negara pengimpor.
(8) Untuk pangan olahan asal Hewan, selain wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pangan.
16. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 59
(1) Setiap Orang yang akan memasukkan Produk Hewan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib
memperoleh izin pemasukan dari menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan setelah memperoleh rekomendasi dari:
a. Menteri…
135
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
a. Menteri untuk Produk Hewan segar; atau
b. Pimpinan lembaga bidang pengawasan obat dan makanan
untuk produk pangan olahan asal Hewan.
(2) Produk Hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha Produk
Hewan pada suatu negara yang telah memenuhi persyaratan
dan tata cara pemasukan Produk Hewan.
(3) Dalam hal produk pangan olahan asal Hewan yang akan
dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang
mempunyai risiko penyebaran Zoonosis yang dapat
mengancam kesehatan manusia, Hewan, dan lingkungan budi
daya, sebelum diterbitkan rekomendasi oleh pimpinan lembaga
pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan obat dan makanan harus mendapatkan
persetujuan teknis dari Menteri.
(4) Persyaratan dan tata cara pemasukan Produk Hewan dari luar
negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengacu
pada ketentuan yang berbasis analisis risiko di bidang
Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner serta
mengutamakan kepentingan nasional.
17. Ketentuan Pasal 65 di ubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kesehatan Masyarakat Veteriner
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 64
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
18. Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 66A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 66A
(1) Setiap Orang dilarang menganiaya dan/atau
menyalahgunakan Hewan yang mengakibatkan cacat
dan/atau tidak produktif.
(2) Setiap…
136
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Setiap Orang yang mengetahui adanya perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan
kepada pihak yang berwenang.
19. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 68
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya menyelenggarakan Kesehatan Hewan di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Dalam menyelenggarakan Kesehatan Hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya berkewajiban meningkatkan
penguatan tugas, fungsi, dan wewenang Otoritas Veteriner.
20. Di antara Pasal 68 dan Pasal 69 disisipkan 5 (lima) Pasal, yakni
Pasal 68A, Pasal 68B, Pasal 68C, Pasal 68D, dan Pasal 68E
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 68A
(1) Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68
ayat (2) mempunyai tugas menyiapkan rumusan dan
melaksanakan kebijakan dalam penyelenggaraan Kesehatan
Hewan.
(2) Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipimpin oleh pejabat Otoritas Veteriner.
(3) Pejabat Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) terdiri atas:
a. pejabat Otoritas Veteriner nasional;
b. pejabat Otoritas Veteriner kementerian;
c. pejabat Otoritas Veteriner provinsi; dan
d. pejabat Otoritas Veteriner kabupaten/kota.
Pasal 68B
(1) Pejabat Otoritas Veteriner di tingkat nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68A ayat (3) huruf a diangkat oleh
Menteri.
(2) Pejabat Otoritas Veteriner di tingkat kementerian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68A ayat (3) huruf b
diangkat oleh menteri.
(3) Pejabat...
137
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Pejabat Otoritas Veteriner di tingkat provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68A ayat (3) huruf c diangkat oleh
gubernur.
(4) Pejabat Otoritas Veteriner di tingkat kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68A ayat (3) huruf d
diangkat oleh bupati/wali kota.
(5) Pejabat Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diangkat berdasarkan
kompetensinya sebagai Dokter Hewan Berwenang.
Pasal 68C
(1) Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68
mempunyai fungsi:
a. pelaksana Kesehatan Masyarakat Veteriner;
b. penyusun standar dan meningkatkan mutu
penyelenggaraan Kesehatan Hewan;
c. pengidentifikasi masalah dan pelaksana pelayanan
Kesehatan Hewan;
d. pelaksana pengendalian dan penanggulangan Penyakit
Hewan;
e. pengawas dan pengendali pemotongan Ternak
Ruminansia Betina Produktif dan/atau Ternak
Ruminansia Indukan;
f. pengawas tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan
terhadap Hewan serta aspek Kesejahteraan Hewan lainnya;
g. pengelola Tenaga Kesehatan Hewan;
h. pelaksana pengembangan profesi kedokteran Hewan;
i. pengawas penggunaan Alat dan Mesin Kesehatan Hewan;
j. pelaksana perlindungan Hewan dan lingkungannya;
k. pelaksana penyidikan dan pengamatan Penyakit Hewan;
l. penjamin ketersediaan dan mutu Obat Hewan;
m. penjamin keamanan Pakan dan bahan Pakan asal Hewan;
n. penyusun prasarana dan sarana serta pembiayaan
Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner;
dan
o. pengelola medik akuatik dan Medik Konservasi.
(2) Otoritas…
138
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang mengambil keputusan tertinggi yang bersifat
teknis Kesehatan Hewan.
(3) Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan melibatkan keprofesionalan Dokter Hewan
dan dengan mengerahkan semua lini kemampuan profesi.
(4) Keterlibatan keprofesionalan Dokter Hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan mulai dari identifikasi
masalah, rekomendasi kebijakan, koordinasi pelaksanaan
kebijakan, sampai dengan pengendalian teknis operasional
penyelenggaraan Kesehatan Hewan di lapangan.
Pasal 68D
(1) Dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), Pemerintah menetapkan
Siskeswanas.
(2) Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
acuan Otoritas Veteriner dalam penyelenggaraan Kesehatan
Hewan.
(3) Dalam pelaksanaan Siskeswanas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya:
a. meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan
penyelenggaraan Kesehatan Hewan; dan
b. melaksanakan koordinasi dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Pemerintahan Daerah.
(4) Peningkatan peran dan fungsi kelembagaan penyelenggaraan
Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
a dilaksanakan melalui:
a. upaya Kesehatan Hewan meliputi pembentukan unit
respons cepat di pusat dan daerah serta penguatan dan
pengembangan pusat kesehatan hewan;
b. penelitian dan pengembangan Kesehatan Hewan;
c. sumber daya Kesehatan Hewan;
d. informasi Kesehatan Hewan yang terintegrasi; dan
e. peran serta masyarakat.
(5) Dalam…
139
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(5) Dalam ikut berperan serta mewujudkan Kesehatan Hewan
dunia melalui Siskeswanas, Menteri melimpahkan
kewenangannya kepada Otoritas Veteriner.
(6) Otoritas Veteriner bersama organisasi profesi kedokteran
Hewan melaksanakan Siskeswanas dengan memberdayakan
potensi Tenaga Kesehatan Hewan dan membina pelaksanaan
praktik kedokteran Hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pasal 68E
Ketentuan lebih lanjut mengenai Otoritas Veteriner dan
Siskeswanas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, Pasal 68A,
Pasal 68B, Pasal 68C, dan Pasal 68D diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
21. Ketentuan ayat (1) Pasal 85 diubah dan ayat (4) dan ayat (5)
dihapus, sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 85
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13
ayat (8), Pasal 15 ayat (3), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3),
Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 24
ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal 29 ayat (4),
Pasal 36B ayat (4), Pasal 36B ayat (5), Pasal 36C ayat (4), Pasal
42 ayat (5), Pasal 43 ayat (4), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat
(2), Pasal 47 ayat (3), Pasal 50 ayat (1), Pasal 50 ayat (3), Pasal
51 ayat (2), Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (3), Pasal 55 ayat
(3), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59 ayat (1), Pasal 60 ayat (1), Pasal
61 ayat (1), Pasal 61 ayat (2), Pasal 62 ayat (2), Pasal 62 ayat
(3), Pasal 69 ayat (2), Pasal 72 ayat (1), atau Pasal 80 ayat (1)
dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi . . .
140
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. pengenaan denda;
c. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau
peredaran;
d. pencabutan nomor pendaftaran dan penarikan Obat
Hewan, Pakan, alat dan mesin, atau Produk Hewan dari
peredaran; atau
e. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
22. Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 86
Setiap orang yang menyembelih:
a. Ternak ruminansia kecil betina produktif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dipidana dengan pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6
(enam) bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah); atau
b. Ternak ruminansia besar betina produktif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
23. Di antara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 91A dan Pasal 91B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 91A
Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan Produk
Hewan dengan memalsukan Produk Hewan, dan/atau
menggunakan bahan tambahan yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 ayat (6), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 91B . . .
141
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 91B
(1) Setiap Orang yang menganiaya dan/atau menyalahgunakan
Hewan sehingga mengakibatkan cacat dan/atau tidak
produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66A ayat (1)
dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu)
bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling
sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang mengetahui adanya perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66A ayat (1) dan tidak
melaporkan kepada pihak yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66A ayat (2) dipidana dengan pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 3
(tiga) bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).
24. Ketentuan Pasal 96 dihapus.
25. Di antara Pasal 96 dan Pasal 97 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 96A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 96A
(1) Peraturan Pemerintah mengenai pulau karantina
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36D ayat (2) harus telah
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UndangUndang ini
diundangkan.
(2) Peraturan Pemerintah mengenai Otoritas Veteriner dan
Siskeswanas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68E harus
telah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . . .
142
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 338
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Perekonomian
ttd.
Lydia Silvanna Djaman
143
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2014
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009
TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
a. UMUM
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan
kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Salah satu bentuk perlindungan tersebut
dilakukan melalui penyelenggaraan Peternakan dan Kesehatan
Hewan dalam kerangka mewujudkan kemandirian dan kedaulatan
pangan.
Penyelenggaraan Peternakan dan Kesehatan hewan yang telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait dengan pemasukan
Benih, Bibit, Bakalan, dan Ternak Ruminansia Indukan, serta
pencegahan Penyakit Hewan belum mencapai hasil yang optimal.
Selain itu, beberapa pasal dalam undang-undang tersebut telah
diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya,
Mahkamah Konstitusi membatalkan beberapa pasal yang terkait
dengan pemasukan dan pengeluaran Produk Hewan, Otoritas
Veteriner, serta persyaratan halal bagi Produk Hewan yang
dipersyaratkan. Atas dasar tersebut serta memenuhi perkembangan
dan kebutuhan hukum di masyarakat, Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan perlu
diubah.
Perubahan …
144
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Perubahan tersebut dimaksudkan agar penyelenggaraan
Peternakan dan Kesehatan Hewan dapat mencapai tujuan yang
diharapkan, yaitu: mengelola sumber daya Hewan secara
bermartabat, bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk sebesarbesar
kemakmuran
rakyat;
mencukupi
kebutuhan pangan, barang,
dan jasa
asal
Hewan
secara
mandiri,
berdaya saing,
dan
berkelanjutan
bagi
peningkatan
kesejahteraan
Peternak
dan
masyarakat;
melindungi,
mengamankan,
dan/atau menjamin
wilayah
Negara
Kesatuan
Republik Indonesia dari
ancaman
yang
dapat
mengganggu
kesehatan atau
kehidupan manusia, Hewan,
tumbuhan, dan
lingkungan;
mengembangkan
sumber daya
Hewan;
serta
memberi
kepastian
hukum
dan
kepastian
berusaha
dalam
bidang
Peternakan dan
Kesehatan
Hewan. Tujuan
penyelenggaraan
Peternakan
dan
Kesehatan
Hewan
tersebut
harus
dilandasi
dengan
semangat
untuk
mewujudkan
kedaulatan,
kemandirian,
dan
ketahanan
pangan.
Sedangkan asas dari
penyelenggaraan
Peternakan dan
Kesehatan Hewan adalah
kemanfaatan
dan
keberlanjutan,
keamanan dan
kesehatan,
kerakyatan dan
keadilan,
keterbukaan
dan
keterpaduan, kemandirian,
kemitraan,
dan
keprofesionalan.
Secara
umum perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan mencakup
pemasukan Benih, Bibit, Bakalan, Ternak Ruminansia Indukan,
dan/atau Produk Hewan; kemitraan usaha Peternakan; pengaturan
mengenai Ternak Ruminansia Betina Produktif; pencegahan
Penyakit Hewan; dan penguatan Otoritas Veteriner.
b. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dipertahankan keberadaan
dan kemanfaatannya secara keberlanjutan” adalah
upaya yang perlu dilakukan oleh kabupaten/kota
untuk memasukkan Kawasan Penggembalaan Umum
dalam program pembangunan daerah.
Ayat (2)…
145
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kastrasi” adalah
tindakan mencegah berfungsinya testis
dengan jalan menghilangkannya atau
menghambat fungsinya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penetapan lahan
sebagai Kawasan Penggembalaan Umum” yaitu
upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah
daerah kabupaten/kota untuk menyediakan
lahan penggembalaan umum, antara lain,
misalnya tanah pangonan, tanah titisara atau
tanah kas desa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Teknologi reproduksi untuk mengembangbiakan
hewan antara lain melalui alih janin (transfer
embrio), kelahiran kembar (twinning), dan
pemisahan sperma (sexing) antara kromosom X
dan kromosom Y.
Ayat (4)
146
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ”Ternak tertentu” adalah
Ternak asli seperti Sapi Bali dan Ternak lokal
seperti Sapi Aceh, Sapi Madura, Domba Garut,
Ayam Sentul, dan Itik Alabio.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “ciri-ciri keunggulannya”
antara lain memiliki kemampuan produksi dan
reproduksi yang tinggi dan tahan terhadap
penyakit.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf
a
Yang dimaksud dengan “mutu genetik”
adalah ekspresi keunggulan sifat individu.
Yang dimaksud dengan “keragaman
genetik” adalah ekspresi keunggulan
variasi genetik antarindividu.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kekurangan
Benih” yaitu ketidakcukupan jumlah
Benih (semen atau embrio) Ternak bukan
asli atau lokal (eksotik) yang digunakan
untuk kebutuhan Pemuliaan dalam
rangka meningkatkan produktivitas
dan/atau mutu genetik.
Yang…
147
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Yang dimaksud dengan “kekurangan
Bibit” yaitu ketidakcukupan jumlah Bibit
Ternak eksotik yang sebelumnya telah
dikembangkan atau beradaptasi di
Indonesia dalam rangka meningkatkan
mutu genetik Ternak eksotik.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Ternak lokal” adalah
hasil persilangan antara Ternak asli luar negeri
dan Ternak asli Indonesia, yang telah
dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi
kelima atau lebih yang teradaptasi pada
lingkungan dan/atau manajemen setempat.
Ayat (2)
Ketentuan larangan terhadap pengeluaran Benih
dan Bibit terbaik dimaksudkan untuk
mempertahankan populasi dan mutu genetik
Ternak asli dan lokal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 18
Ayat (1)
Bibit dalam ketentuan ini hanya ternak
ruminansia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)…
148
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “menjaga populasi”
antara lain tidak menyembelih anakan ternak
ruminansia kecil dan anakan ternak ruminansia
besar.
Yang dimaksud dengan “anakan ternak
ruminansia kecil” adalah ternak ruminansia yang
berumur kurang dari 6 (enam) bulan.
Yang dimaksud dengan “anakan ternak
ruminansia besar” adalah ternak ruminansia
yang berumur kurang dari 12 (dua belas) bulan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 31
Ayat (1)
Kemitraan usaha misalnya antara lain, inti
plasma, subkontrak, keagenan, bagi hasil, atau
bentuk lain sesuai dengan budaya lokal dan
kebiasaan masyarakat setempat.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”perusahaan di
bidang lain” adalah perusahaan di luar
bidang Peternakan dan Kesehatan
Hewan, misalnya antara lain perkebunan,
perikanan, kehutanan, dan
pertambangan.
Huruf d…
149
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak tertentu yang
mempunyai kepentingan khusus” adalah
pelaku usaha yang bergerak di luar bidang
Peternakan yang mempunyai kebutuhan
terhadap budi daya Ternak, contoh: pelaku
usaha yang membutuhkan limbah Ternak
sebagai penyubur tanah dan bio-energi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pangan bergizi
seimbang” adalah kondisi pangan yang
komposisi protein, lemak, karbohidrat,
mineral, vitamin, dan serat kasar dalam satukesatuan asupan konsumsi
sesuai
dengan
umur, jenis, dan
kebutuhan untuk
aktivitas
tubuh.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 36A...
150
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 36A
Yang dimaksud dengan “kebutuhan konsumsi
masyarakat” adalah kebutuhan menggunakan barang
hasil produksi antara lain pakaian, dan makanan,
guna memenuhi keperluan hidup.
Pasal 36B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “nilai tambah” antara
lain, berat maksimal, netralisir residu, dan
penyerapan tenaga kerja.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 36C
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “zona dalam suatu
negara” adalah bagian dari suatu negara yang
mempunyai batas alam, status kesehatan
populasi Hewan, status epidemiologik Penyakit
Hewan Menular, dan efektivitas daya kendali.
Ayat (2). . .
151
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 36D
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pulau karantina” adalah
suatu pulau yang terisolasi dari wilayah
pengembangan budi daya Ternak, yang
disediakan dan dikelola oleh Pemerintah untuk
keperluan pencegahan masuk dan tersebarnya
Penyakit Hewan yang dapat ditimbulkan dari
pemasukan Ternak Ruminansia Indukan
sebelum dilalulintasbebaskan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
keperluan pengembangan Peternakan.
Yang dimaksud dengan “jangka waktu tertentu”
adalah jangka waktu yang dibutuhkan untuk
memastikan Ternak Ruminansia Indukan bebas
dari agen Penyakit Hewan Menular.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36E
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu”
adalah keadaan mendesak, antara lain, akibat
bencana, saat masyarakat membutuhkan
pasokan Ternak dan/atau Produk Hewan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 37. . .
152
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Industri pengolahan
Produk Hewan” adalah industri yang melakukan
kegiatan penanganan dan pemrosesan hasil
hewan yang ditujukan untuk mencapai nilai
tambah yang lebih tinggi, dengan memperhatikan
aspek produk yang aman, sehat, utuh, dan halal
bagi yang dipersyaratkan.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat
(2a)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 41
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 41A
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Koordinasi pencegahan Penyakit Hewan
dilaksanakan antara lain dengan cara
penyusunan bersama rencana strategis
pencegahan Penyakit Hewan, pengembangan unit
respon cepat, pengembangan sistem kendali
penyakit, dan persiapan pengembangan rantai
komando sebagai antisipasi munculnya penyakit.
Ayat (4)…
153
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat
(4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 41B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pemeriksaaan dilakukan di pos lalulintas Hewan
dengan memerhatikan situasi dan status
Penyakit Hewan baik di wilayah penerima
maupun di wilayah pengirim.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal
58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)...
154
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sertifikat
veteriner” adalah surat keterangan yang
dikeluarkan oleh Otoritas Veteriner yang
menyatakan bahwa Hewan dan Produk
Hewan telah memenuhi persyaratan
keamanan, kesehatan, dan keutuhan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 59
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 65
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 66A
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 68
Cukup jelas.
Angka 20. . .
155
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Angka 20
Pasal 68A
Cukup jelas.
Pasal 68B
Cukup jelas.
Pasal 68C
Cukup jelas.
Pasal 68D
Cukup jelas.
Pasal 68E
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 85
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 86
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 91A
Cukup jelas.
Pasal 91B
Cukup jelas.
Angka 24
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 96A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5619
156